Selasa, 19 April 2011

TUGAS KELOMPOK DUA 7ED

Kepemimpinan Tradisional Antara Kenangan dan Impian






“Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa tanda orang yang beriman itu adalah mereka yang tidak akan terperosok dua kali ke dalam satu lobang kesalahan”.

Di Sajikan Kelompok Dua
1. Cecep Heri MS
2. Isminarti Ika Putri
3. FitriyantiSumarno
4. Partinia
5. Aris Pranata
6. Yulva Novianti
7. Tarmizi
8. Erwina Sari




BAB I
PENDAHULUAN



Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan masalah krisis kepemimpinan. Banyak orang mengatakan bahwa pada zaman sekarang sangat sulit mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Orang pada zaman sekarang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak atau kurang perduli pada kepentingan orang lain, dan kepentingan lingkungannya. Krisis kepemimpinan ini disebabkan karena makin langkanya keperdulian pada kepentingan orang banyak, dan kepentingan lingkungannya. Sekurang-kurangnya terlihat ada tiga masalah mendasar yang menandai kekurangan ini. Pertama adanya krisis komitmen. Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam kebersamaan Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya dengan kemampuan untukmenegakkan etika memikul amanah, setia pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit. Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar, harus membaca, harus mempunyai pengetahuan mutakhir dan pemahamannya mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan orang-orang yang dipimpin. Juga pemimpin itu harus memiliki kredibilitas dan integritas, dapat bertahan, serta melanjutkan misi kepemimpinannya. Kalau tidak, pemimpin itu hanya akan menjadi suatu karikatur yang akan menjadi cermin atau bahan tertawaan dalam kurun sejarah di kemudian hari.




B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa arti kepemimpinan?
2. Bagaimana perilaku pemimpin Tradisional?
4. Bagaiman cara mengambil keputusan seorang pemimpin Tradisional?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui arti kepemimpinan?
2. Untuk mengetahui bagaimana perilaku pemimpin?
4. Untuk mengetahui bagaiman cara mengambil keputusan seorang pemimpin?
5. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan yang cocok untuk Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN



1. ARTI KEPEMIMPINAN

Secara umum, kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari orang-orang dalam kelompok. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau karyawan yang akan dipimpin. Kepemimpinan juga melibatkan pembagian kekuasaan (Power). Pemimpin mempunyai power yang lebih besar dibandingkan dengan yang dipimpin. Power tersebut datang dari beberapa sumber, diantaranya adalah : Reward power, Coercive power, Legitimate power, Referent power, dan Expert power.
Manajer secara umum, mempunyai keahlian yang lebih tinggi, dibandingkan bawahannya, manajer dapat juga mempunyai kekuasaan referensi yang mendorong bawahan ingin meniru perilaku menejer, meskipun kekuasaan yang terakhir ini barangkali tidak sebesar kekuasaan sebelumnya.
Pemimpin tidak sama dengan manajer. Pemimpin biasanya dikaitkan dengan orang yang mempunyai semangat yang tinggi, kharisma yang tinggi, dan kemampuan memotifasi orang lain yang sangat tinggi. Sementara Manajer biasanya dikaitkan dengan orang yang mampu merencanakan, mengelola, dan mengendalikan organisasi dengan baik, tetapi tidak mempunyai kemampuan memotifasi orang lain dengan baik. Presiden Soekarno barangkali contoh seorang pemimpin yang efektif, karena hanya dengan pidatonya, beliau mampu menggerakkan bangsa Indonesia melawan penjajah. Sementara para manajer biasanya memotifasi karyawannya dengan intensif gaji.
Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan. Seorang pemimpin itu adalah berfungsi untuk memastikan seluruh tugas dan kewajiban dilaksanakan di dalam suatu organisasi. Seseorang yang secara resmi diangkat menjadi kepala suatu group I kelompok bisa saja ia berfungsi atau mungkin tidak berfungsi sebagai pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang unik dan tidak di wariskan secara otomatis tetapi seorang pemimpin haruslah memiliki karekteristik tertentu yang timbul pada situasi -situasi yang berbeda
Menurut John. R. Schermer Horn : “Untuk menjadi seorang manajer tidaklah suatu yang mudah. Untuk menjadi manajer berarti berani untuk bertindak secara efektif dalam arti menyeluruh dalam perencanaan (planning), organisasi (organizing), memimpin dan mengendalikan. Kepemimpinan yang sukses adalah suatu kemauan tetapi bukan dalam kondisi sukses managerial. Seorang manajer yang baik, maka akan baik pula kepemimpinannya, tetapi seorang yang baik kepemimpinannya belum tentu baik dalam manajer yang baik manajer.

Kepemimpinan adalah usaha mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ricky W. Griffin membagi pengrtian kepemimpinan menjadi dua konsep, yakni penerapannya sebagai proses dan sebagai atribut. Sebagai proses, kepemimpinan di fokuskan kepada apa yang di lakukan oleh para pemimpin, yaitu proses yang mengharuskan seseorang pemimpin di dalam menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, atau siapa saja yang dipimpinnya, kemudian memotivasi mereka agar dapat mencapai tujuan bersama dan membantu penciptaan budaya produktif di dalam organisasi.
Sebagai atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus di miliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seseorang yang mempunyai kemempuan untuk mempengaruhui orang lain tanpa menggunakan kekuatan, sehingga orang-orang yang di pimpin itu menerima dirinya aebagai sosok yang layak memimpin.


Tahun 2004 merupakan babakan baru dalam sejarah perjalanan kepemimpinan Bangsa Indonesia pada aras nasional. Untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih dan menentukan sendiri pemimpinnya melalui pemilihan presiden secara langsung. Selamaberpuluh-puluh tahun rakyat Indonesia memilih pimpinanan Nasionalnya dengan cara mewakilkan, walaupun sedikit secara paksa, kepada orang yang disebut wakil rakyat yang sesungguhnya juga tidak dipilih secara langsung. Namun masih ada sedikit kebanggaan sebab pada aras lokal yang disebut desa, pemilihan kepala desa secara langsung sudah berlangsung berpuluh tahun lamanya. Hasil dari “pesta demokrasi” itu telah menetapkan para pemimpin di berbagai tingkat kelembagaan. Di tangan mereka terletak penerapan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadikan mereka sebagai pemimpin. Rakyat menunggu pembuktian mereka. Di tengah semaraknya pemilihan pemimpin di berbagai tingkatan kelembagaan dalam Negara Republik Indonesia (baik legislatif maupun eksekutif), ada fenomena lain yang cukup menarik untuk dikaji sekitar kepemimpinan dalam masyarakat Indonesia. Perebutan kekuasaan lewat jalur kepemimpinan tradisional di berbagai pusat kekuasaan tradisional di Indonesia makin sering terjadi, contoh yang masih segar dalam ingatan adalah dualisme kepemimpinan dalam keraton Kasunanan Surakarta. Selain itu, tidak sedikit para pemimpin dan calon pemimpin dalam jalur kepemimpinan modern dari berbagai tingkatan yang “mencari” gelar atau pangkat melalui jalur kepemimpinan tradisional. Sebut saja pemberian gelar Kanjeng Pangeran oleh Paku Buwono XII kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pada tahun 2002. Pemberian gelar Kanjeng Pangeran dan Kanjeng Pangeran Anom kepada Wiranto dan Akbar Tanjung (capres Partai Golkar) dan Amin Rais (capres PAN) pada tanggal 28 September 20031. Ada juga para pejabat gereja yang kemudian beralih dari jabatannya sebagai pelayan Tuhan menjadi pemimpin tradisonal atau merangkap dua jabatan tersebut sekaligus (misalnya menjadi Parengnge’, yaitu pemimpin tradisional Toraja). Mengapa fenomena-fenomena demikian semakin kerap terjadi dalam era modern saat ini? Apakah model kepemimpinan modern tidak relevan untuk masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dengan beragam model kepemimpinannya? Ataukah kepemimpinan yang relevan untuk masyarakat kita adalah gabungan antara dua model kepemimpinan, modern dan tradisional? Mungkin inilah yang sedang dicoba sebab sering menjadi syarat, walaupun tidak tertulis, seorang dapat dipilih menjadi pemimpin dalam organisasi modern termasuk dalam gereja jika orang tersebut adalah keturunan “darah biru” alias keturunan bangsawan. Tetapi benarkah dua model kepemimpinan yang dalam banyak hal bertentangan dapat dipadukan dalam sebuah lembaga atau organisasi? Bertolak dari realitas demikian, maka tulisan ini dibuat sebagai pikiran awal untuk mendorong para pembaca mengkaji fenomena tersebut lebih lanjut dan mendalam.

Tata kepemimpinan tradisional diatur dalam system kemasyarakatan yang sumber atau proses menjadinya terkadang sulit dilacak/diketahui. Ia hanya merupakan dongeng yang diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi. Dalam mitos suku-suku yang menceritakan tentang asal-usul suatu masyarakat, ada kepercayaan bahwa system kemasyarakatan lahir bersamaan dengan penciptaan alam semesta dengan semua isinya termasuk manusia pertama. Dalam masyarakat Makassar, sistem seperti ini dimuat dan diatur dengan lengkap dalam lontara2 . Contoh lain adalah sistem kemasyarakatan di Toraja yang diyakini diberikan oleh dewa kepada manusia pertama. Sistem kemasyarakatan tersebut menyatu dengan sistem kepercayaan yang diatur dalam Aluk Sanda Pitunna = 7777 (secara harafiah berarti serba tujuh atau lengkap tujuh)3. Salah satu yang diatur dalam Aluk Sanda Pitunna adalah strata sosial4. Strata sosial tidak hanya dikenal dalam masyarakat

Tinjauan Teologis

tradisional Toraja tetapi pada umumnya dalam sukusuku di Indonesia. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat lokal sekaligus mencerminkan system pemerintahan (kepemimpinan) yang dianut dan dipraktekkan dalam masyarakat tersebut. Strata tertinggi pada umumnya adalah pemimpin yang paling berkuasa dan selanjutnya strata terendah merupakan kelompok masyarakat yang diperintah atau dikuasai bahkan terkadang disetarakan dengan harta milik yang dalam segala hal harus taat kepada pemimpinnya. Ketaatan kepada sang pemimpin merupakan keharusan sebab hal itu merupakan partisipasi dalam memelihara ketertiban yang telah ditentukan oleh seluruh sistem. Dalam hal ini seorang bangsawan/pemimpin ditempatkan sebagai wakil Tuhan di dalam dunia ini. Inilah sumber utama kewibawaan dan kekuasaan sang pemimpin. Selain pokok yang dikemukakan di atas, yang menjadi sumber kewibawaan pemimpin, masih ada sumber-sumber yang lain yang tidak kalah pengaruhnya bagi seorang pemimpin. AA GN Ari Dwipayana dalam bukunya yang berjudul, “Bangsawan dan Kuasa. Kembalinya Para Ningrat Di Dua Kota”, menjelaskan beberapa sumber kekuasaan bangsawan di Surakarta dan Denpasar5. Sumber-sumber kekuasaan tersebut adalah:
a. Kesatuan yang integral antara istana (keraton, pura, puri, tongkonan) dengan bangsawan.
Istana memberikan makna politis yang sangat besar bagi seorang bangsawan (baca: pemimpin). Tanpa istana seorang bangsawan tidak mempunyai arti politis sama sekali. Karena itu, jika terjadi perebutan kekuasaan di dalam suatu kerajaan yang menjadi prioritas penalukkan adalah istana. Seseorang dinyatakan berkuasa atau menang jika ia menguasai dan bertempat tinggal dalam istana. Oleh Clifford Geertz yang dikutip oleh Dwipayana mengatakan bahwa status social seorang bangsawan akan merosot jika ia tidak mempunyai atau tidak berkedudukan di istana. Namun sebaliknya sebuah istana tidak akan dilihat sebagai lembaga politik yang penting jika tidak disertai dengan bangsawan/ pemimpin yang trampil dalam memelihara kewibawaan istana.
b. Penguasaan secara hegemonik pada level wacana kebudayaan. Menurut Dwipayana bahwa hal ini terjadi sebab istana merupakan sumber tunggal produksi wacana pengetahuan, kepercayaan, acuan system stratifikasi sosial, simbol status, gaya hidup, dan kesenian masyarakat. Upacara yang dilakukan dalam istana selain bermakna religius, tetapi juga mempunyai makna status serta berfungsi sebagai sarana hiburan bagi rakyat pada umumnya. Karena itu, tidak heran jika upacara sekaten yang dilaksanakan di keraton Surakarta atau Keraton Yogyakarta selalu mendapat perhatian dari seluruh rakyat. Demikian pula dengan benda-benda pusaka selain merupakan karya seni yang menarik tetapi juga merupakan simbol status bahkan menjadi sumber kekuatan atau kesaktian.
c. Penguasaan basis ekonomi politik. Ekonomi politik yang dimaksudkan di sini berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh Adam Smith yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut. Salah satu maksud Adam Smith memakai istilah ini adalah untuk membedakannya dengan Ekonomi Allah yang ada kaitannya dengan providentia Allah6. Kebijakan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebijakan politik suatu kekuasaan7. Ekonomi dan kekuasan hampir selalu berjalan berbarengan. Dalam sistem kepemimpinan tradisional bangsawan menjadi penguasa atas pengelolaan seluruh prasarana ekonomi milik kerajaan. Prasarana ekonomi yang paling dominan adalah tanah. Pada dasarnya tanah itu bukanlah milik pribadi tetapi merupakan tanah adat. Masing-masing tanah itu telah mempunyai peruntukannya sendiri-sendiri. Ada yang diperuntukkan sebagai tanah pertanian, ada untuk tanah peternakan, ada tanah yang diperuntukkan sebagai tempat pemukiman dan ada yang hanya untuk tempat menyelenggarakan upacara atau pesta. Semua dimaksudkan untuk membiayai seluruh kehidupan masyarakat di dalam wilayah kekuasaan tersebut dan terutama demi kepentingan istana. Walaupun pada hakekatnya tanah bukan milik pribadi, tetapi karena kekuasaan menyatu dengan istana dan seluruh miliknya, maka prakteknya tanah adalah milik penguasa. Hal ini yang kemudian banyak menjadi masalah pada saat berhadapan dengan ekonomi dan kepemimpinan modern. Runtuhnya kekuasaan tradisional menyebabkan terjadinya perebutan tanah milik kerajaan atau tanah adat.
d. Penguasaan atas birokrasi dan pengadilan. Kekuasaan bangsawan tidak hanya terbatas pada tingkat kekuasaan tertinggi dalam istana tetapi ia juga menguasai birokrasi di

Gelar yang disandang oleh pemimpin tradisional memperlihatkan ciri dan model kepemimpinan yang diembannya. Gelar-gelar tersebut ada yang mencerminkan keilahian, pengayoman, perlindungan, pemeliharaan tetapi ada juga yang mencerminkan penguasaan. Gelar puang yang dipakai oleh umumnya bangsawan Toraja merupakan gelar yang berbau keilahian sebab nama ini dipakai untuk menyebut dewa. Namun ada gelar lain yang dipakai secara khusus untuk seorang pemimpin dalam suatu lembaga (tingkatan pemerintahan dalam suatu wilayah kekuasaan), yakni To Parengnge’. Kata To Parengnge’ merupakan bentukan dari kata To yang artinya orang dan rengnge’ yaitu alat atau anyaman yang terbuat dari rotan yang diikatkan pada bakul. Alat ini kemudian dipakai untuk menggendong bakul yang disangkutkan di dahi8. Dengan demikian parengnge’ berarti orang yang menanggung orang lain. Yang ditanggung dalam pengertian ini mencakup seluruh aspek. Keamanan dan kesejahteraan merupakan tanggung jawab seorang parengnge’. Karena itu seorang parengnge’ adalah orang yang kuat, berani, kaya, rela berkorban dan bijaksana. Aspek moral adalah salah satu aspek yang cukup penting dalam kepemimpinan tradisonal. Amiruddin Selle menjelaskan dengan sangat baik tentang pentingnya aspek moral dalam kepemimpinan
tradisional dalam kepempimpinan Karaeng Galesong di Kerajaan Galesong. “Dalam tatanan kepemimpinan elit local Karaeng Galesong, nampaknya tidak jauh berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional di beberapa kerajaan, seperti Kerajaan Gowa dan Tallo. Bahwa landasan utama dalam sistem kepemimpinannya senantiasa berpijak pada adat yang termaktub dalam lontara. Berdasarkan ajaran lontara itu, moral kepemimpinan bagi seorang raja atau karaeng sangat mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, faktor moral merupakan faktor yang sangat menentukan berjaya dan tidak berjayanya seorang pemimpin, raja atau karaeng/penguasa di masyarakat. Moral merupakan landasan dan kriteria utama dari rakyat yang dipimpinnya. Apabila moral seorang pemimpin atau raja telah dinilai terpuji oleh rakyatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa adat akan mendukungnya, pemimpin atau karaeng yang bersangkutan senantiasa mendapat simpati dari rakyatnya. Kesediaan berkorban dari anggota masyarakat, termasuk kerelaan mengorbankan harta bendanya dan bahkan jiwanya yang paling berharga, akan terus mendukung bila moral seorang pemimpin atau penguasa memperlihatkan pula kesediaan untuk berkorban guna kepentingan rakyatnya. Artinya sosok seorang karaeng senantiasa menjadi pelindung rakyatnya, tidak
memperkosa hak rakyatnya, dan menyayangi rakyatnya seperti sang raja/karaeng menyayangi diri dan keluarganya. Sebaliknya, bila moral sang raja/karaeng, tidak terpuji seperti hanya mementingkan diri dan keluarganya saja, berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara di masyarakat, egoistis, serakah (korup), menindas rakyat dan dikuasai oleh nafsu angkara murka. Maka tak ayal lagi sang raja yang bersangkutan akan dibenci oleh
rakyatnya”9. Dengan demikian, jelas bahwa seorang pemimpin ia tidak boleh bertindak dengan sewenang-sewenang tetapi bertindak sebijakasana mungkin.
Kepemimpinannya diarahkan demi kepentingan seluruh rakyat tanpa terkecuali dan bukan untuk diri dan keluarganya sendiri. Kepemimpinan yang demikian adalah kepemimpinan dalam rangka mengayomi, menuntun dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Kalau ada rakyat kesulitan dalam kehidupannya, maka sang pemimpin yang akan menolongnya. Di sinilah salah satu (mungkin satusatunya) aspek positif dari strata sosial di mana bangsawan/pemimpin seperti “Puang” di Toraja turut menangung biaya hidup hambanya. Hal inilah yang membuat banyak hamba atau bawahan merasa tergantung kepada tuannya, namun harus diakui pula bahwa ketergantungan seperti ini merupakan satu cara untuk mempertahankan kekuasaan terhadap para budak atau rakyat. Meskipun kekuasaan dalam kepemimpinan tradisional sangat otoriter tetapi kepercayaan terhadap tuan dapat menjadi luntur. Pemimpin yang tidak mengindahkan tata krama dan norma-norma moral yang telah diatur dalam adat akan menyebabkan
berkurangnya dukungan dan rasa simpati dari rakyatnya.

Walaupun harus diakui bahwa pewarisan kepemimpin dalam masyarakat tradisional sepenuhnya didasarkan pada stratifikasi sosial, tetapi tidak berarti bahwa semua keturunan bangsawan secara otomatis akan menjadi pemimpin. Seorang yang “diangkat” menjadi pemimpin adalah kader yang telah mengetahui segala seluk-beluk aturan dan tata cara menjadi pemimpin. Pengetahuan yang demikian tidak datang dengan sendirinya tetapi merupakan hasil belajar dalam waktu yang cukup lama10. Proses belajar tentang masalah kemasyarakatan (kepemimpinan) di Toraja khususnya di Toraja Mamasa, lebih banyak nampak pada saat upacara adat seperti Rambu Solo’ (kedukaan) dan rambu tuka’ (sukacita). Anak-anak biasanya dilibatkan dalam menyediakan daun-daunan untuk alas tempat memotong daging atau disuruh membakar hewan yang dikorbankan. Setelah meningkat dewasa sudah diberi kepercayaan untuk memotong dan membagi daging kepada orang yang hadir dalam upacara tersebut. Membagi daging sangat penting sebab dari sinilah seorang pemuda belajar mengenal dan membedakan orang menurut strata sosialnya. Seorang pemuda yang trampil dalam membagi daging sesuai dengan strata social seseorang pertanda ia punya bakat untuk memimpin masyarakat di masa yang akan datang. Proses pendidikan bagi mereka yang potensial terus dilanjutkan. Proses pendidikan atau pelatihan kepemimpinan yang sesungguhnya baru dimulai disini, yakni dengan melibatkan/mengikutkan dalam penyelesaian-penyelesaian perkara yang terjadi dalam masyarakat dan dalam upacara-upacara adat. Selain proses belajar berupa keterampilan praktis seperti di atas, orang tua juga mengajar anak-anak dengan pengajaran yang merangsang imajinasi anak melalui cerita-cerita (dongeng). Dongengdongeng itu biasanya diceritakan pada saat santai menjelang tidur di malam hari atau waktu dalam perjalanan ke kebun. Walaupun makna dongeng itu tidak pernah dijelaskan tetapi setelah dianalisa ternyata nilai kemanusiaannya sangat dalam. Proses pendidikan ini berlangsung terus-menerus. Khususnya dalam bidang kepemimpinan, penggantian pimpinan dilakukan pada saat sang pemimpin tidak mampu menjalankan tugasnya. Ada banyak macam atau variasi dalam penggantian pemimpin11. Ada kepemimpinan yang harus diwariskan kepada keturunan pemangku adapt (pemimpin) tersebut tetapi ada juga yang diangkat dari anggota suku yang bukan keturunan langsung dari pemimpin sebelumnya. Menjelang penyerahan tongkat estapet kepemimpinan, maka sang calon pemimpin akan mendapat semacam pelajaran terakhir dari yang akan digantikannya. Peristiwa itu disebut “disikkudui sadangna” yang arti hurufiahnya diludahi mulutnya. Artinya pemberian kata-kata nasihat yang merupakan kode etik dan rahasia dalam memimpin. Nasihat-nasihat yang berisi kode etik dan rahasia kepemimpinan itu hanya diberikan kepada yang akan dipilih dan tidak bias disampaikan sembarangan kepada orang lain. Peristiwa pemberian nasihat yang hanya terjadi antara sang pemimpin dan pewarisnya itu disampaikan menjelang penyerahan tongkat estapet kepemimpinan Upacara penyerahan tersebut ada bermacam-macam. Ada yang hanya dilakukan dengan penyerahan alat-alat atau simbol-simbol kepemimpinan yang dipakai dalam memimpin, tetapi ada juga yang harus dilakukan melalui semacam upacara perberkatan yang dalam bahasa daerah Toraja Mamasa disebut ditada’.

sistem otonomi daerah ini. Keraguan padaumumnya berada disekitar kemungkinan bangkitnyaraja-raja baru (baca: feodalisme modern) di daerahyang memakai gelar-gelar modern tetapiperilakunya sama dengan raja dalam masyarakattradisional. Gejala seperti pencarian/pemberiangelar bangsawan tradisional kepada pemimpinmodern dapat menjadi salah satu indikasi. Dalampemberian gelar kebangsawanan, kedua belah pihak diuntungkan. Pihak penerima gelar diuntungkan sebab dengan adanya legitimasi dan pengakuan keraton diharapkan dapat menjadi pintu meraih dukungan dari rakyat yang masih sangat kuat dengan simbol-simbol tradisional. Sementara itu, pihak pemberi gelar diuntungkan oleh adanya relasi dengan pemimpin dalam elit modern. Keuntungan tersebut bisa dalam wujud perlindungan tetapi juga bisa berupa finasial. Berbeda dengan pihak yang masih bernada skeptis, Aminuddin Selle justru melihat sisi-sisi positif dari kepemimpinan tradisional. Baginya kepemimpinan tradisional justru harus mendapat perhatian dalam mengoptimalkan otonomi daerah. “Kajian mengenai nilai-nilai budaya kepemimpinan elit lokal sebagai salah atu dimensi sosial budaya masyarakat dapat membantu rencana pambangunan yang diwarnai stressing program dan prioritasprioritas untuk menjawab situasi konkret masyarakat. Sebaliknya jika pembangunan yang dilakukan secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan menjadi problem bila menurut Peter L.Berger; menuntut korban manusia karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat”12. Terlepas dari pro kontra tentang otonomi daerah, yang jelas ialah bahwa peluang kebangkitan system kepemimpinan tradisional di berbagai daerah sangat besar. Simbol-simbol kekuasaan lama seperti gelar bangsawan, pakaian kebangsawanan, rumah dan lain-lain semakin hidup kembali dalam masyarakat termasuk dalam pemilihan pemimpin dalam pemerintahan tingkat lokal. Walaupun era ini adalah era reformasi tetapi masih ada saja sisa-sisa pikiran yang menolak jika yang memimpin suatu daerah tidak berasal dari keturunan “darah biru”. Memang harus diakui pula bahwa tidak semua yang ada dalam sistem kepemimpinan tradisional tidak baik. Pasti ada sisi positif atau sisi yang baik, tetapi ada pula yang sama sekali tidak relevan dengan situasi yang sangat menekankan nilai-nilai demokratisasi. Sikap kritis harus terus dihidupkan baik terhadap kepemimpinan modern dan terlebih terhadap kepemimpinan tradisional.


Sikap kritis terhadap kepemimpinan tidak hanya perlu dihidupkan dalam kepemimpinan masyarakat secara umum tetapi dalam gerejapun sikap demikian mestinya dipupuk terus. Gereja yang lagi demam “membumi” di negerinya melalui apa yang disebut kontekstualisasi tidak “suci hama” dari godaan gaya kepemimpinan lama. Godaan ini umumnya tidak nampak secara terang-terangan tetapi mengambil wujud yang lain bagaikan “rusa berbulu domba”. Kasus penolakan penatua yang berasal dari kalangan strata rendah untuk memimpin ibadah di rumah keturunan bangsawan masih kerap didengar di berbagai daerah. Penolakan tidak hanya datang dari keturunan bangsawan tetapi terkadang penolakan dari sang penatua sendiri. Bahkan lebih heboh lagi sebab pernah terjadi seorang parengnge’ memindahkan hari minggu gara-gara penentuan waktu upacara adat telah disepakati bertepatan dengan hari minggu. Dengan demikian jelas bahwa baik dalam masyarakat secara umum maupun dalam gereja secara khusus realitas membuktikan bahwa pengaruh kepemimpinan lama (tradisional) masih tetap mempunyai pengaruh. Ia tidak hanya bias dikenang akan eksistensinya pada masa lampau tetapi masih mempunyai pengaruh bahkan masih menjadi impian sebagian orang. Dalam rangka otonomi daerah dan kontekstualisasi kehidupan bergereja pengkajian secara sungguh-sungguh dan mendalam sangat dibutuhkan pada tiap-tiap daerah. Hanya dengan cara seperti itulah kita akan terhindar dari penyesalan anak cucu akibat kekeliruan yang dibuat pada masa kini. “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” (Pengkhotbah 1:9)

BAB III
PENUTUP


1) KESIMPULAN

Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab atas akibat dan resiko yang timbul sebagai konsekwensi daripada keputusan yang diambilnya Tentunya dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin harus punya pengetahuan, keterampilan, informasi yang mendalam dalam proses menyaring satu keputusan yang tepat. Hanya dengan jalan demikian pencapaian tujuan dapat terlaksana dengan efisien dan efektif. Pertama, kepemimpinan yang berhasil memelihara ketertiban di dalam masyarakat. Karena salah satu kecenderungan perkembangan masyarakat pada masa depan adalah kemajemukan yang semakin kentara yang tentunya berpeluang terjadinya gesekan sosial
Kedua, kepemimpinan yang mampu menjaga keamanan dari luar di samping tentunya juga memelihara wibawa dan martabat bangsa. Masyarakat luar begitu kagum melihat anggun dan berwibawanya bangsa Indonesia sementara yang dirasakan sekarang adalah kebalikannya begitu rendahnya posisi bangsa ini berhadapan dengan bangsa lain. Hal ini semakin terasa bagi mereka yang kebetulan sering bepergian ke luar Indonesia.
Ketiga, pranata politik yang dikembangkan berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Di tengah peningkatan angka kemiskinan akibat dari berbagai terpaan badai ekonomi sehingga menyurutkan tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat.

2) SARAN
Marilah kita menjadi pribadi-pribadi yang perbedaannya adalah kemampuan untuk mengubah yang biasa, menjadi yang luar biasa. Perhatikanlah, sebuah organisasi, tidak mungkin bisa bergerak mendekati bentuk kreatifitas apapun, bila sang pemimpin menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh utama dalam penolakan cara-cara yang lebih baik. Dari mana memulainya?
• Seperti dalam hal apapun,
• Mulailah dari diri kita sendiri.
• Anda adalah seorang khalifah

2 komentar:

  1. tolong kepada anggota kelompok dua. ini makalh kepemimpinan. haraf di cofy dan di print masing2. untuk di pelajari. apunk pakot/ cecep heri ms

    BalasHapus
  2. Pemimpin tradisional dan otokrat itu bisa saja pemimpin monarki, pemimpin militer, kerajaan, kesultanan dan pemimpin agama lainnya. Di Indonesia yang sudah menjadi contoh negara demokrasi terbesar di Asia, ternyata masih menyimpan pemerintahan tradisional seperti Daerah Istimewa Yogjakarta. Sedangkan di dunia masih banyak kepemimpinan otokrat lainnya yang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan perkembangan pemerintahan modern bagi rakyatnya. Memang ada sebagian yang masih dibutuhkan rakyatnya tetapi sebagian lainnya tidak dikehendaki rakyatnya. Sebenarnya yang dibutuhkan rakyatnya juga secara tidak disadari secara manajemen modern bahkan tidak menguntungkan rakyatnya di masa depan. maka lahirlah judul ini?"

    BalasHapus